Beranda | Artikel
Sebesar-besar Dosa
Kamis, 25 Juni 2020

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa besar yang paling besar adalah engkau menjadikan bagi Allah sekutu/sesembahan tandingan padahal hanya Dia yang menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dosa merupakan perkara yang harus dikhawatirkan oleh setiap muslim. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yang disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam Sahih-nya, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah dia sedang berada di bawah gunung. Dia takut kalau-kalau gunung itu runtuh menimpa dirinya…” 

Bahkan salah satu ciri kaum beriman adalah takut akan nasib amalannya; diterima oleh Allah apakah tidak. Hasan al-Bashri rahimahullah -seorang ulama tabi’in- mengatakan, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat baik dengan merasa khawatir, sedangkan orang kafir memadukan antara berbuat keburukan dengan merasa aman.”

Padahal, syirik termasuk perkara yang bisa merusak amalan dan membuatnya hancur sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan terhapus semua amalan yang dahulu telah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Bukan itu saja, pelaku syirik akan menghuni neraka selama-lamanya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Ma-idah : 72)

Oleh sebab itu kewajiban seorang hamba yang paling pertama dan paling utama adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan ibadah kepada Allah dan menjauhi syirik kepada-Nya. Sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas setiap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah tauhid yang menjadi tujuan penciptaan segenap jin dan manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah menjelaskan, bahwa ibadah tidaklah dinamakan ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah maka ia merusak ibadah dan menghapuskan amalan, dan pelakunya menjadi tergolong orang-orang yang akan dihukum kekal di dalam siksa neraka (lihat al-Qawa’id al-Arba’).

Apabila syirik merupakan dosa terbesar maka tauhid adalah kewajiban teragung di dalam Islam. Oleh sebab itulah Allah menyebutkan kewajiban bertauhid sebelum kewajiban-kewajiban agung lainnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik.” (al-Isra’ : 23)

Seorang muslim tidak boleh meremehkan dosa syirik. Sebagaimana dia juga tidak boleh meremehkan dosa-dosa yang lain. Apabila dosa kecil bisa berubah menjadi dosa besar akibat disepelekan oleh pelakunya maka bagaimana lagi dosa syirik ketika ia disepelekan oleh pelakunya?!

Pada masa kita sekarang ini banyak orang yang sudah tidak perhatian lagi dalam masalah tauhid dan syirik. Mereka menganggap bahwa masalah utama umat ini bukanlah persoalan aqidah dan tauhid. Mereka menilai tema-tema tauhid sudah usang dan ketinggalan jaman. Oleh sebab itu mereka menilai ajakan memurnikan tauhid adalah dakwah yang tidak sesuai dengan semangat perubahan jaman. Bagi mereka justru doktrin tauhid itu harus disesuaikan dengan perkembangan jaman, kalau tidak mau dikatakan harus dirombak ulang… Na’udzu billah min dzalik..

Yang tidak kalah menyedihkan adalah sebagian orang yang menyangka bahwa tauhid cukup dengan mengakui Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Atau yang biasa dikenal oleh para ulama dengan istilah tauhid rububiyah. Padahal, tauhid rububiyah itu telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin terdahulu sekali pun. Mereka tidak menolak keyakinan Allah pemberi rezeki atau yang menghidupkan dan mematikan. Yang mereka tolak adalah ajakan untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata. Mereka berkata (yang artinya), “Apakah dia -nabi- itu menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh.” (Shad : 5)

Berdasarkan keyakinan inilah banyak orang menafsirkan kalimat laa ilaha illallah dengan makna tiada pencipta selain Allah. Padahal dalam bahasa arab kata ilah bermakna ma’bud/sesembahan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa kaum musyrik jug menyembah Allah dan menyembah selain-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa sesembahan itu banyak. Akan tetapi sesembahan yang benar hanya satu yaitu Allah. Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa tafsir laa ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dalilnya firman Allah (yang artinya), “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah -sesembahan- yang benar dan sesungguhnya apa-apa yang mereka seru/ibadahi selain-Nya adalah batil.” (al-Haj : 62)

Dari sinilah kita bisa memahami bahwa memaknai syirik sebagai dosa besar yang paling besar itu mengharuskan kita mengenali syarat diterimanya ibadah; bahwa ibadah harus bersih dari syirik. Ibadah tidak akan diterima jika tercampuri syirik; walaupun orang itu banyak melakukan sholat, puasa, sedekah dan rajin berbuat baik kepada orang lain. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Memahami syirik sebagai dosa yang paling besar juga mengharuskan kita mengenali celah-celah yang menjerumuskan manusia ke dalam syirik. Dan sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa syirik itu bisa berupa amalan hati, berupa amalan lisan, dan bisa juga berupa perbuatan anggota badan. Ada syirik yang tampak dengan jelas dan ada pula yang samar atau tersembunyi. Sehingga menjaga diri dari bahaya syirik bukanlah perkara ringan. Bahkan seorang nabi pemimpin ahli tauhid dan teladan bagi umat pun berdoa kepada Allah untuk dijauhkan dari perbuatan syirik. Hal itu diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam sebuah doa yang dikisahkan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung…” (Ibrahim : 35)

Apakah mudah menumpas dosa syirik? Sejarah dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita bahwa periode dakwah tauhid di Mekah selama 10 tahun lebih pun tidak dengan serta merta membuat kaum musyrikin jera, bahkan mereka semakin menjadi-jadi sehingga umat Islam pun harus berhijrah meninggalkan Mekkah. Padahal ketika itu belum banyak turun kewajiban syari’at yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah terjerembab dalam genangan syirik tidaklah semudah membalik telapak tangan. Tidakkah kita ingat ada sebagian sahabat yang baru saja masuk Islam lalu meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibuatkan tempat menggantungkan senjata/dzatu anwath untuk mencari berkah darinya karena tergoda oleh tradisi kaum musyrik.   

Kesadaran untuk menghindari dosa syirik dan mengenal seluk-beluk syirik adalah perkara yang harus terus-menerus didorong dan dijelaskan kepada masyarakat. Bagaimana mungkin seorang bisa menghindari syirik jika ia tidak mengetahui hakikatnya. Maka kini marilah kita melihat berbagai media massa dan pusat-pusat informasi publik apakah edukasi tentang bahaya syirik itu sudah berkembang luas ataukah ia masih tersimpan dalam kitab-kitab para ulama?

Apabila pada hari-hari ini kita bisa melihat kesadaran yang begitu besar untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya wabah Covid-19 yang itu menyerang kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, maka apakah kesadaran untuk menyelamatkan manusia dari kekalnya api neraka menjadi sesuatu yang sepele dan bisa dipinggirkan begitu saja? Marilah kita bercermin…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/sebesar-besar-dosa/